Listiana Khasanah/14210084
Nurul Asfiyah/14210091
Hukum dan Etika Jurnalistik
Trial
By The Press
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pernahkah anda merasakan diobok-obok oleh media massa? Pernahkan anda
merasa terusik disudutkan akibat miss understanding penulisan pemberitaan dalam
suatu media?.Apakah ini termasuk indikasi bukti ‘kekejaman jurnalistik’? Jika
istilah ini ada dan boleh dipakai untuk menyebut kasus ‘pembunuhan karakter’
seseorang yang berakibat fatal bagi orang yang menimpanya akibat Perilaku
koruptif pers.
Kalau sudah begini hubungan pers sebagai mitra masyarakat berubah menjadi
berhadapan laksana hakim dan terdakwa, penilaian sepihak, penghakiman dini,
terasa mengalami under preasure yang mematikan.Masyarakat lebih merasakan
sebagai pesakitan yang tertindas.Bahkan lebih terasa sebagai tirani pers kepada
masyarakat.Lalu dimanakah hak privasi masyarakat yang seharusnya dilindungi
oleh UU untuk merasakan ketenangan, kenyamanan beraktivitas tanpa selamanya
terusik media?
Trial by the press atau peradilan
oleh pers. Kalau dikatakan memfitnah sungguh tak elok karena bagaimanapun ini
merupakan konsekuensi dari kebebasan pers yang harus dijunjung tinggi,sebagai
buah dari reformasi.Namun betulkah kebebasan pers adalah segala-galanya?tanpa
perlu lagi kode etik jurnalistik yang harus tetap dijunjung tinggi pula.
Kita mengenal apa yang dinamakan
kebebasan pers. Kebebasan pers itu sendiri tidak bersifat mutlak. Salah satu
pembatasnya adalah kode etik jurnalistik.Pasal-pasal dalam kode etik
jurnalistik merupakan saringan bagi kebebasan pers. Dengan begitu, pers tidak
dapat menyajikan berita sebebas-bebasnya.
Latar belakang inilah yang membuat
kami termotivasi untuk mengulas lebih lanjut mengenai Trial By The Press dan
beberapa contoh kasusnya di Indonesia
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa maksud Trial By The Press dan bagaimana hukum
memandang hal itu?
2.
Bagaimana
pasal-pasal dan kode etik jurnalistik menjabarkan terkait trial by the press di
Indonesia
3.
Apa saja contoh
kasus Trial By The Press ?
C.
Rumusan
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
menjelaskan tentang trial by the press, pasal-pasal terkait dan
kasus-kasus trial by the pressdi Indonesia.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Trial by the press adalah peradilan oleh pers, di mana pers
berperan sebagai Polisi, Jaksa, Hakim dan aparat hukum lainnya.[1]Di
Indonesia belum terdapat peraturan yang mengatur tentang trial by the
press.Padahal, pemberitaan yang sudah "memvonis" seseorang tersangka
dilihat dari sudut tata negara sudah merupakan trial by the press, karena sudah
merupakan perusakan sistem ketatanegaraan (Loqman, 1994:10).Dalam suatu negara hukum seperti
Indonesia, dilarang main hakim sendiri, karena itu tindakan pers yang ‘menvonis’
tersangka padahal hakim belum memberikan putusan yang mempunyai hukum tetap
merupakan pelanggarang terhadap fungsi kekuasaan kehakiman. Seharusnya
kekuasaan kehakiman yang menentukan kesalahan tersangka, tidak boleh
dipengaruhi apapun termasuk media massa.
Menurut
Pahmo Wahyono ( dalam Loqman, 1994:10), trial by the press dapat dilihat dari 2
sisi, yaitu:
1. Pers yang bebas menghakimi seseorang. Dalam hal ini
bila dikaitkan dengan pasal 24 UUD 1945, Maka kekuasaan kehakimandilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan kehakiman lainnya menurut undang-undang. Karena itu
tidak ada pemberian kekuasaan di luar kehakiman dalam menghakimi
seseorang. Jadi penghakiman oleh pers
merupakan suatu pelanggaran terhadap konstitusi.
2. Pers yang bebas ikut campur atau mempengaruhi
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hakim yang profesional dalam karirnya tidak
akan terpengaruh oleh tanggapan pers. Tetapi jika pemberitaan pers mempengaruhi
jalannya suatu proses pengadilan, maka hal itu merupakan suatu masalah yang sifatnya
konstitusional. Karena di satu pihak kebebasan pers harus dihormati, di pihak
lain kebebasan pers ini jangan sampai menghakimi tersangka.
Di
beberapa negara bila sampai terjadi penghakiman oleh pers, maka media tersebut
akan mendapatkan sanksi dengan dasar telah melakukan contempt of court
(kejahatan terhadap proses peradilan). Ini berarti media massa tersebut
dianggap telah melakukan trial by the press dan harus dipertanggungjawabkan
melalui peradilan.
B. Pasal-pasal dan kode etik
jurnalistik terkait trial by the press
Berikut
beberapa pasal yang berkaitan dengan trial by the press, yakni:
1.Pers nasional berkewajiban
memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2.Pers wajib melayani hak jawab.
3.Pers wajib melayani hak tolak.
2. Pasal 4 ayat 3 UU. No. 14/70:
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak
di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang disebut dalam
undang-undang.
3. Pasal 8 UU. No. 14/70:
Setiap orang yang
disangka, ditangkap ditahan dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
C. Beberapa
kasus trial by the press di Indonesia
1.
Ketika sidang
pengadilan terhadap mantan Wakil Perdana Menteri Pemerintahan Orde Lama,
Soebandrio (1996)
Peristiwa ini menjadi peristiwa trial by the press
yang paling hitam dalam sejarah pers Indonesia. Ketika berlangsung sidang ini,
yaitu beberapa bulan setelah Pemerintahan Orde Lama tumbang dan jabatan kepresidenan
Soekarno digantikan oleh Soeharto. Pemberitaan pers terhadap tertuduh saat itu
bukan saja tidak memperhatikan asas praduga tak bersalah dan prinsip penyajian
yang adil, jujur dan berimbang seperti yang dikehendaki kode eetik jurnalistik,
tetapi juga nyaris tidak mengindahkan etika sebagai pers yang beradab yang
dituntut oleh hati nurani siapapun.Terdakwa Soebandrio sebagai tokoh sentral
kedua dalam pemerintahan Orde Lama sampai-sampai disebut sebagai “Dorna” dalam
pemberitaan-pemberitaan pers waktu itu.[3]
2.
ABG Bunuh diri akibat pemberitaan
pers di Aceh,
Menurut
Fery, mantan pengurus Kontras (Komisi untuk Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan)di Aceh ,pemberitaan di media yang langsung menuding
kalau PE sebagai pelacur, membuat dirinya malu kepada keluarga dan masyarakat.
“Pemberitaan tersebut membuat dirinya tertekan dan frustasi,” imbuhnya.Pria
yang pernah menjadi pengurus Kontras di Aceh ini menjelaskan, tertekan
dan frustasinya PE cukup beralasan. Pasalnya, dalam kultur masyarakat Aceh bila
seseorang tertangkap oleh Wilayatul Hisbah
(sebuah lembaga pengawasan pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh),maka hal itu
merupakan sebuah aib, baik bagi keluarga maupun bagi kampungnya.Jika seseorang
diketahui tertangkap WH karena melanggar syariat, kata dia, maka orang tersebut
akan dikucilkan masyarakat dan lebih parahnya lagi orang itu akan diusir dari
kampungnya.[4]
3.
Kasus Tempo dan PT Asian Agri
Kasus vonis
hakim atas Toriq Hadad pimpinan redaksi Tempo melawan
PT Asian Agri di mana Tempo dijatuhi ganti rugi atas pencemaran nama baik
“bos”Asian Agridengan denda 50 juta rupiah serta permohonan maaf berturut turut
tiga hari di tiga media.[5]
Pada kasus
ini banyak pendapat yang menyayangkan vonis atas Tempo dalam bentuk immateril
bahkan ada yang berpendapat bahwa hal ini adalah bentuk penghianatan terhadap
kebebasan pers. AJI(Aliansi jurnalis Independen) pun mengatakan bahwa kasus
Asian Agri dan Tempo adalah terancam matinya jurnalisme investigatif sehingga
demokrasi dalam medapatkan informasi yang beragam juga akan mati. Akan tetapi
di sini yang kita lihat adalah posisi dominan bagaimana proses masalah pers di
lihat dalam persfektif hukum /yuridis dan tentunya substansinya adalah tanggung
jawab hukumnya., dan Tempo dalam hal ini oleh hakim dalam vonisnya dikatakan bersalah
dan secara perdata harus memenuhi kewajiban atas vonis tersebut seperti
mengutip Juniver Girsang SH MH dalam judul bukunya mekanisme penyelesaian
sengketa pers di jelaskan bahwa : sebuah pemberitaan yang dianggap provokatif
dan tendensius,dan menyiarkan informasi yang bersifat dusta dan fitnah serta
menjadikan medianya sebagai sarana untuk menyebarluaskan pemberitaan/informasi
yang bersifat mendiskreditkan seseorang , dapat pula dijerat dengan hukum
perdata berdasarkan KUH perdata dengan dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan
Hukum sebagaimana diatur pasal 1365 KUH perdata.
4. Pemberitaan
tentang Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.[6]
Pemberitaan pers terutama merujuk pada keterangan beberapa saksi di
Pengadilan Tipikor dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet di Palembang
untuk menempatkan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus itu sebagai sasaran
pemberitaan. Laporan pers bergeser dari substansi ke sasaran orang (ad hominem).
Menurut
catatan, kasus Trial by PressAkhir tahun 2011, LBH pers merilis sekitar
30 kasus pers tahun 2011, seperti kasus hukum pidana, perdata, PHI, PMH dan
PTUN dan kasus wartawan karena dugaan penghinaan, pencemaran nama baik, dan
pemutusan hubungan industri. (LBH Pers, 2011) Divisi Etik Profesi Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis data pengaduan masyarakat terkait
pelanggaran etika pemberitaan pers sebanyak 470 kasus periode Januari - Oktober
2011. Tahun 2010, ada 514 kasus pelanggaran etika pemberitaan pers. (AJI, 2011)
PENUTUP
Kesimpulan
Trial by the press adalah fenomena
yang hingga saat ini masih terjadi di Indonesia. meskipun sampai saat
ini belum ada peraturan yang mengatur mengenai trial by the press secara
spesifik namun hal ini telah menjadi suatu pelanggaran terhadap konstitusi dan
tatanan negara. Kebebasan pers yang didapatkan pasca reformasi ini tidak
bersifat mutlak adanya tetapi dibatasi dengan Kode Etik Jurnalistik yang sudah
ditetapkan.Sehingga, pemberitaan oleh pers tidak dilakukan
sebebas-bebasnya.Kebebasan pers memang harus dijunjung tinggi tetapi Kode Etik
Jurnalistik harus dijunjung tinggi pula.
artikel yang bagus gan, sangat bermanfaat...
BalasHapusAbsensi Online
Solusi Sales