Rabu, 28 Oktober 2015

Epistemologi : Cara Mengembangkan Ilmu Komunikasi dengan Penelitian Ilmiah

BAB I
Pendahuluan
A.     Latar belakang
Setiap ilmu pengetahuan mempunyai filsafatnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan ilmu-ilmu pada umumnya yang pada masa lampau berpangkal pada filsafat. Filsafat yang sebenarnya berarti cinta kebijaksanaan, yang dalam memecahkan masalah orang mencari jawaban yang sebijaksana mungkin. Karena itulah pada masa lampau, filsafat sebagai landasan dari praktek setiap kegiatan manusia dalam hidupnya dan hingga sekarang menjadi landaan setiap ilmu. Begitu juga dengan ilmu yang mempelajari hubungan sosial manusia seperti ilmu komunikasi.
Ilmu komunikasi termasuk disiplin ilmu yang yang tidak terlepas dari lingkungan filsafat. Dasar-dasar filsafat yag meliputi ontology, epistemology, dan aksiologi juga dijadikan landasan dalam menggali dan mengupas penelitian ilmiah ketika para ilmuan mengembangkan ilmu komunikasi. Salah satunya yaitu dengan dasar pemikiran epistemology. Epistemology berusaha mengkaji bagaimana pengetahuan itu didapatkan dan disusun dari bahan yang diperoleh menggunakan metode penelitian ilmiah.
B.     Rumusan masalah
1)      Apa yang dimaksud epistemologi ?
2)      Apa yang sebenarnya menjadi sumber pengetahuan ?
3)      Apa saja aliran-aliran dalam epistemology ?
4)      Apa yang dimaksud penelitian ilmiah ?
5)      Bagaimana cara mengembangkan ilmu komunikasi dengan penelitian ilmiah ?



BAB II
Pembahasan

A.  Dasar Pemikiran : Epistemologi
Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan Logos berarti perkataan, pikiran atau ilmu.. bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya dan kebenaran ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya. Untuk pertama kalinya, kata epistemology muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier  pada tahun1854. Cabang filsafat ini sering juga disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge).
Epistemologi adalah ilmu yang mempelajari berbagai bentuk pengenalan dasar pengetahuan, hakikat dan nilainya. Secara tradisional, yang menjadi pokok permasalahan dalam epistemologi adalah sumber, asala mula dan sifat dasar pengetahuan, yaitu bidang, batas dan jangkauan pengetahuan. Pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Itu berarti bahwa pengetahuan selalu mempunyai subjek (yang mengetahui). Tanpa ada yang mengetahui, tidak mungkin ada pengetahuan. Pengetahuan juga mengandalkan objek. Pengetahuan berelasi denganmasalah kebenaran. Kebenaran adalah kesesuaian pengetahuan dengan objek pengetahuan.. masalah nya adalah kebenaran suatu objek  pengetahuan tidak bisa serentak diperoleh dalam suatu waktu pengetahuan. Jarang sekali sebauh objek pengetahuan menampilkan kebenaran mutlak. Kebenaran dicari dalam tahapan pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis dan rasional.
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi epistemology adalah P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemology adalah cabang filsafat yang mencoba mempelajari dan menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemology adalah D.W Hamlyin,beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secata umum hal itu dapat diandalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. J.A Niels mengungkapkan epistemologi sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.
B.   Sumber pengetahuan
Sebuah pengetahuan pasti mempunyai sumber. Menurut Soehartono Suparlan, Ph. D. (2007: 59), sumber pengetahuan berasal dari:
ü  Kepercayaan yang berdasarkan tradisi,
ü  Kebiasaan-kebiasaan dan agama,
ü  Panca indera/  pengalaman,
ü  Akal pikiran
ü  Intuisi individual.
Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan dan kebiasaan  menunjukkan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa yang hidup dan berlaku dalam adat istiadat, kebiasaan dan kehidupan agama. Biasanya sumber pengetahuan ini banyak berkaitan dengan norma atau kaidah untuk membentuk sikap, cara dan tingkah laku.
Tingkatan pengetahuan ini diperoleh dengan cara yang sangat sederhana tanpa menggunakan pendekatan dan metode apapun. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung, dengan serta merta, yang secara naluriah diterima begitu saja (receprive) tanpamemerlukan alasan, pembuktian, dan pengujian akan kebenaran. Apa yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya harus diterima begitu saja tanpa kritik apapun
Sedangkan pengetahuan yang berasal dari intuisi merupakan pengetahuan yang berasaldari bagian kejiwaan yang sangat sentral, sehigga bersifat batiniah. Sebagai sumber pengetahuan, intuisi memperoleh pengetahuan secara langsung, tetapi jelas dan pasti bagi orang tertetntu. Manusia seringkali bertindak berdasarkan pengetahuan intuitifnya, dan sesering itu pula pengetahuannya benar. Oleh karena itu orang perlu melatih kepekaan inuisinya agar mampu mendapatkan pengetahuan yang lengkap. Namun yang menjadi masalah adalah bahwa apa yang diketahui secara intuitif bagi seseorang belum tentu sama dengan orang lain. Artinya cara seseorang endapatkan pengetahuan intuistif belum tentu bisa berlaku bagi orang lain.
Beberapa filsuf menyebutkan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi atau rasio. Akal budi memiliki fungsi penting dalam proses pengetahuan. Beberapa filsuf lainnya berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengetahuan inderawi. Pengetahuan pada dasarnya bersandar atau bergantung pada panca indera serta pada pengalaman empiris inderawi.. pertentangan kutub ide rasionalitas dan empirisme ini didamaikan oleh Immanuel Kant yang menyatakan bahwa kendati seluruh ide dan konsep bersifat apriori, ide dan konsep tersebut hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep tidak pernah dapat diaplikasikan.[1]
C.     Aliran-aliran dalam epistemologi
Ada beberapa aliran yang berbicara tentang epistemologi, diantaranya :
1.    Empirisme
Empiris berasal dari bahasa Yunani yang bermakna pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.
John locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula- mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-lama sulit, lalu tersusunlah pengetahuan. bagaimanapun kompleks (sulit)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukan pengetahuan yang benar.
Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen. Namun, aliran empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia. Misalnya benda yang jauh kelihatan kecil, sebenarnya benda itu kecil ketika dilihat dari jauh sedangkan kalau dilihat dari dekat benda itu besar.
2.      Rasionalisme
Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia menmperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Bapak aliran ini adalah Descartes (1596-1650). Descartes seorang filosof yang tidak puas dengan filsafat scholastik yang pandangannya bertentangan, dan tidak ada kepastian disebabkan oleh kurangnya metode berpikir yang tepat. Dan ia juga mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada dan jelas ia sedang erang menderang. Cogito Ergo Sun (saya berpikir, maka saya ada).
            Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar. Karena rasio saja yang dianggap sebagai sumber kebenaran, aliran ini disebut rasionlisme. Aliran rasionalisme ada dua macam , yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik  ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan .
3.      Positivisme
Tokoh aliaran ini adalah august compte (1798-1857). Ia menganut paham empirisme. Ia berpendapat bahwa indera itu sangat penting dalam memperoleh pengetahuan. Tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misalnya untuk mengukur jarak kita harus menggunakan alat ukur misalnya meteran, untuk mengukur berat menggunakan neraca atau timbangan misalnya kiloan . Dan dari itulah kemajuan sains benar benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dan didukung oleh bukti empirisnya. Dan alat bantu itulah bagian dari aliran positivisme. Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang dapat berdiri sendiri. Aliran ini menyempurnakan empirisme dan rasionalisme.
4.      Intuisionisme
Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek yang selalu berubah, demikian bargson. Jadi, pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelektual atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi dalam hal itu manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada objek. Misalnya manusia menpunyai pemikiran yang berbeda-beda. Dengan menyadari kekurangan dari indera dan akal maka bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.
5.      Kritisme
Aliran ini dimunculkan pada abad ke 18 oleh seorang ahli pikir jerman, Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan diatas, pada awalnya, kant mengikuti rasionalisme tetapi terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya kant mengakui peranan akal harus dan keharusan empiris, kemudian dicoba mengadakan sintesis.  Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari pengalaman (empirisme). Jadi, metode berpikirnya disebut metode kiritis. Walaupun ia mendasarkan diri dari nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari bahwa adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal.
6.      Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern. Idealisme mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi tergantung pada spirit tidak disebut idealisme karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme. Idealisme secara umum berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan apriori atau deduktifdapat diperoleh dari manusia dengan akalnya.
D.        Penelitian Ilmiah Sebagai Landasan
            Setelah mencoba menyelami lebih mendalam tentang pengetahuan, sumber dan aliran epistemologi, timbul asumsi bahwa setiap proses pengetahuan menuju sebuah pengetahuan yang ilmiah tidak lepas dari aturan dan tahapan-tahapan yang telah terstruktur dan sistematis demi mencapai suatu ilmu  pengetahuan yang hakiki dan tidak diragukan lagi keabsahannya. begitu pula dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan.
            Dewasa ini, ilmu pengetahuan tidak lepas dari realitas dan fakta yang telah menjadi sebuah fenomena yang mengakar dalam kehidupan kita. begitu pula ilmu komunikasi yang akan kita kaji dalam pembahasan ini, ilmu komunikasi yang memiliki objek kajian yang sangat dekat sekali dengan manusia memberikan kita kesimpulan bahwa dalam pengembangan ilmu ini memerlukan suatu landasan yang menghantarkan kita pada sebuah pertanyaan : melalui proses apa kita dapat mewujudkan pengembangan ini?. 
            Ketika kita kaitkan dengan isu-isu epistimologis yang berkembang, diantara isu-isu epistimologis yang penting menurut Little jhon (2002:26), adalah pertanyaan: dengan proses apa pengetahuan itu muncul?. Pertanyaan ini sangat kompleks, dan debat pada isu ini terletak pada jantung epistimologi. ada 4 hal pokok pada isu ini, yaitu:
1.Rasionalisme, yang menyarankan bahwa pengetahuan muncul dari kekuatan pikiran manusia balaka untuk mengetahui kebenaran.
2. Empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. kita mengalami dunia dan secara harfiah melihat apa yang terjadi.
3. Kontruksivisme, bahwa orang menciptakan pengetahuan agar secara pragmatis berfungsi di dunia dan bahwa mereka memproyeksikan dirinya sendiri ke dalam apa yang dialaminya. fenomena di dunia ini dapat dipahami  dengan baik dengan banyak cara yang berbeda dan bahwa pengetahuan adalah apa yang telah diperbuat manusia di bumi ini.
4. konstruksionisme sosial, yang mengajarkan bahwa pengetahuan adalah suatu produk intraksi simbiolik dalam kelompok-kelompok sosial. realitas terbentuk secara sosial dan suatu produk dan kelompok dan kehidupan masyarakat[2].
                                                                                                                       
E.     Pengembangan Ilmu Komunikasi melalui Penelitian Ilmiah
            Berdasar uraian epistimologis di atas, maka cara pengembangan ilmu komunikasi melalui penelitian ilmiah dilakukan kedalam 3 jenis penelitian, yaitu:
1. Analisis Wacana
Wacana dalam bahasa inggris disebut discourse. Secara bahasa, wacana berasal dari bahasa Sansekerta “wac/wak/vak” yang artinya “berkata, berucap” kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ‘ana’ yang berada di belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna “membendakan”. Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataaan atau tuturan. Menurut kamus bahasa Indonesia Kontemporer, kata wacana itu mempunyai tiga arti. Pertama, percakapan; ucapan; tuturan. Kedua, keseluruhan cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar yang realisasinya merupakan bentuk karangan yang utuh.
            Komunikasi dapat terjadi dengan menggunakan isyarat tunggal maupun gabungan. biasanya dalam berkomunikasi melibatkan lebih banyak lagi daripada sekedar ucapan-ucapan dan aksi-aksi. kebanyakan dalam komunikasi, dari yang biasa sampai yang terperinci, terdiri dari aksi-aksi kompleks yang membentuk pesan-pesan atau wacana. adapun studi tentang struktur pesan disebut analisis wacana (Littlejhon, 2002:76)[3].
            Sebenarnya, teori wacana dalam tradisi filsafat sudah sangat tua. Aristoteles pernah membahasnya secara dalam karyanya interpretatione. Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam suatu komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Melalui analisis wacana, kita tidak hanya mengetahui isi teks yang terdapat pada suatu wacana, tetapi juga mengetahui pesan yang ingin disampaikan, mengapa harus disampaikan, dan bagaimana pesan-pesan itu tersusun, dan dipahami. Analisis Wacana akan memungkinkan untuk memperlihatkan motivasi yang tersembunyi di belakang sebuah teks atau di belakang pilihan metode penelitian tertentu untuk menafsirkan teks. Objek kajian atau penelitian analisis wacana pada umumnya berpusat pada bahasa yang digunakan sehari-hari, baik yang berupa teks maupun lisan. Jadi objek kajian atau penelitian analisis wacana adalah unit bahasa diatas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan konteks yang eksis dikehidupan sehari-hari, misalnya naskah pidato, rekaman percakapan yang telah dinaskahkan, percakapan langsung, catatan rapat, dan sebagainya, dan pembahasan wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap hubungan antara konteks-konteks yang terdapat dalam teks. Pembahasan itu bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran (utterances) yang membentuk wacana.
2. Analisis Semiotik
            Komunikasi adalah negoisasi dan pertukaran makna dalam mana pesan dibangun oleh masyarakat berdasar budaya dan realitas yang mampu berintraksi karena menggunakan makna yang mereka bangun dan mereka pahami bersamama untuk menumbuhkan saling pengertian(Sulvian dalam Purwasito,2003:240).
            Preminger (dalam Sobur, 2002:96), memberi batasan, Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kajian komunikasi, semiotika merupakan ilmu penting, sebab tanda-tanda (signs) merupakan basis utama dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996). Sebab dengan tanda-tanda manusia dapat melakukan komunikasi apapun dengan sesamanya (Sobur, 2004: 15)[4].
Dalam perkembangannya, kajian semiotika berkembang kepada dua klasifikasi utama, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (lihat dalam Eco, 1979; dan Hoed, 2001). Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi (pengirim, penerima, pesan, saluran dan acuan). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu (Sobur, 2004: 15). Di sinilah munculnya berbagai cabang kajian semiotika seperti semiotika binatang (zoomsemiotics), semiotika medis (medicals semiotics) dan lain-lain, yang mana menurut Eco (1979) mencapai 19 bidang kajian (lihat dalam Sobur, 2004: 109).
Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda (Sudjiman dan Van Zoest, 1996), atau seme yang berarti penafsir tanda (Cobley dan Jansz, 1999), atau apa yang lazim dipahami sebagai a sig by which something in knownatau suatu tanda dimana sesuatu dapat diketahui (John Lock, 1960).  Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Kurniawan, 2001). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal yang lain, sebagai contoh, asap menandai adanya api (Sobur, 2004: 17). Secara singkat, dapat kita simpulkan bahwa analisis semiotika (semiotical analysis) merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap paket-paket lambang pesan atau teks dengan segala bentuknya (sign) baik pada media massa maupun dokumen/teks lainnya (Pawito, 2007: 155). Dengan kata lain, analisis semiotika bekerja untuk melacak makna-makna yang diangkut dengan teks berupa lambang-lambang (signs), dimana tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis dalam penelitian semiotika. 
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai "Kebohongan" (Gottdiener dalam Sobur,2002: 87). Menurut Saussure, persepsi dan pandanagn kita tentang realitas, dikonstruksika oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal ini dianggap sebagai pendapat yang cukup mengejutkan dan dianggap revolusioner, karena hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada(Bignell dalam Sobur, 2002:87)[5].
Semiotika membahas tentang keragaman bahasa dari tiga perspektif: Semantika, yakni studi tentang makna; Sintatika, yang berurusan dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan tanda-tanda satu sama lain (misalnya tata bahasa); dan Pragmatika, yaitu analisis penggunaan dan akibat permainan kata(Dan Nimmo, 2002:93).
Terdapat sembilan macam Semiotik yang kita kenal, menurut pateda (dalam Sobur, 2002:100):
a.       Semiotik Analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda.Peirce mengatakan bahwa semiotic berobjekkan tanda, menganalisisnya menjadi ide,objek dan makna. ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makana adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada objek tertentu.
b.      Semiotik Deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikasn sekarang, misal langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun.
c.       Semiotik Faunal (Zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan, misal seekor ayam yang berkotek-kotek menandakan telah bertelur.
d.      Semiotik Kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat lainnya.
e.       Semiotik Naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos, dan cerita lisan, ada di antaranya mempunyai nilai kultural tinggi.
f.       Semiotik Natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai yang keruh menandakan di hulu telah turun hujan, Banjir atau tanah longsor menandakan manusi telah merusak alam.
g.       Semiotik Naratif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
h.      Semiotik Sosial, yakni semiotik yang khusus menlaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.
i.        Semiotik Struktural, semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa[6].


3. Analisis Framing
            Pada dasarnya analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat merekonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan , dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk mengiringi interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu atau menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut[7].
            Disiplin ilmu Analisis Framing bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana, analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi-bahasa, visual, dan pelaku, dan menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis.
            Media frames (framing media) telah didefinisikan oleh Tuchman dalam Scheufele (1999:106) bahwa framing berita mengorganisasikan realitas berita setiap hari. Framing media juga mencirikan sebagai kerja jurnalis untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan informasi secara cepat dan menyampaikan secara capat kepada para pembaca. Kegiatan framing merupakan kegiatan penyeleksian beberapa aspek dari realita dan membuatnya lebih penting dalam sebuah teks. Selain itu lebih berperan dalam penyelesaian dan pemehaman definisi dari permasalahan, interpretasi sebab akibat (kausal), evaluasi moral, dan rekomendasi metode-metode selanjutnya.
Kegiatan framing, penyajian peristiwa dan berita mampu memberikan pengaruh yang sistematis tentang metode agar penerima berita mengerti.
Individual frames (framing individu) didefinisikan sebagai kegiatan penyimpanan ide yang membimbing proses informasi secara individu. (Entman dalam Scheufele, 1999:107).
            Framing, kata Etmant dalam (Sobur,2002:164), memiliki implikasi penting dalam komunikasi politik. Frames menurutnya menuntut aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Politisi mencari dukungan dengan memaksa kompetisi satu sama lain. merekan bekeja sama jurnalis membangun frame berita, sehingga framing memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuasaan politik, dan frame dalam teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak, ia menunjukan identitas para aktor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks[8].





BAB III
Penutup

Kesimpulan
Peradaban manusia semakin berkembang dengan munculnya ilmu-ilmu baru. Ilmu-ilmu baru ini tidak terlepas dari landasan yang dipakai ilmu-ilmu pada masa lampau yaitu filsafat. Setiap ilmu berpangkal pada filsafat. Para ilmuan dalam memecahkan  masalah-masalah keilmuan harus berusaha menemukan jawaban yang sebijaksana mungkin. Salah satu dasar pemikiran atau cabang dari filsafat yakni Epistimologi, yang biasanya disebut juga teori pengetahuan. Dari itu pula dalam perkembangannya, mulai bermunculan aliran-aliran epistemologi yang mempertanyakan sumber sebenarnya dari pengetahuan yang didapatkan manusia. Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi epistimologi berusaha mengembangkannya dengan penelitian ilmiah yang mencakup analisis wacana, analisis semiotik (tanda-tanda atau symbol dalam komunikasi) dan analisis framing (versi terbaru dari pendekatan analisis wacana).






Daftar Pustaka
Mufid, Muhammad. (2009) Etika dan Filsafat Komunikasi Jakarta : Kencana
Susanto, Astrid (1976) Filsafat Komunikasi  Bandung : Binacipta
Vardiansyah, Dani. (2008) Filsafat Ilmu Komunikasi Jakarta : Indeks
Zamroni, Moh. (2009) Filsafat Komunikasi, Pengantar Ontologis, Epistemologis, Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu.



[1] Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 28

[2] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.88

[3] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.88-89
[4] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.91-92.

[5] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.92.

[6] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.93-94

[7] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.94-96
[8] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar