BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar belakang
Setiap
ilmu pengetahuan mempunyai filsafatnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan
ilmu-ilmu pada umumnya yang pada masa lampau berpangkal pada filsafat. Filsafat
yang sebenarnya berarti cinta kebijaksanaan, yang dalam memecahkan masalah
orang mencari jawaban yang sebijaksana mungkin. Karena itulah pada masa lampau,
filsafat sebagai landasan dari praktek setiap kegiatan manusia dalam hidupnya
dan hingga sekarang menjadi landaan setiap ilmu. Begitu juga dengan ilmu yang mempelajari
hubungan sosial manusia seperti ilmu komunikasi.
Ilmu
komunikasi termasuk disiplin ilmu yang yang tidak terlepas dari lingkungan
filsafat. Dasar-dasar filsafat yag meliputi ontology, epistemology, dan
aksiologi juga dijadikan landasan dalam menggali dan mengupas penelitian ilmiah
ketika para ilmuan mengembangkan ilmu komunikasi. Salah satunya yaitu dengan
dasar pemikiran epistemology. Epistemology berusaha mengkaji bagaimana
pengetahuan itu didapatkan dan disusun dari bahan yang diperoleh menggunakan
metode penelitian ilmiah.
B.
Rumusan masalah
1)
Apa yang dimaksud epistemologi ?
2)
Apa yang sebenarnya menjadi
sumber pengetahuan ?
3)
Apa saja aliran-aliran dalam
epistemology ?
4)
Apa yang dimaksud penelitian
ilmiah ?
5)
Bagaimana cara mengembangkan ilmu
komunikasi dengan penelitian ilmiah ?
BAB II
Pembahasan
A.
Dasar Pemikiran : Epistemologi
Istilah
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Episteme yang berarti
pengetahuan dan Logos berarti perkataan, pikiran atau ilmu.. bagi suatu
ilmu pertanyaan yang mengenai definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya,
pembagian ruang lingkupnya dan kebenaran ilmiahnya, merupakan bahan-bahan
pembahasan dari epistemologinya. Untuk pertama kalinya, kata epistemology
muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier
pada tahun1854. Cabang filsafat ini sering juga disebut dengan teori
pengetahuan (theory of knowledge).
Epistemologi
adalah ilmu yang mempelajari berbagai bentuk pengenalan dasar pengetahuan,
hakikat dan nilainya. Secara tradisional, yang menjadi pokok permasalahan dalam
epistemologi adalah sumber, asala mula dan sifat dasar pengetahuan, yaitu
bidang, batas dan jangkauan pengetahuan. Pengetahuan adalah suatu kata yang
digunakan untuk menunjukkan apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu.
Itu berarti bahwa pengetahuan selalu mempunyai subjek (yang mengetahui). Tanpa
ada yang mengetahui, tidak mungkin ada pengetahuan. Pengetahuan juga
mengandalkan objek. Pengetahuan berelasi denganmasalah kebenaran. Kebenaran
adalah kesesuaian pengetahuan dengan objek pengetahuan.. masalah nya adalah
kebenaran suatu objek pengetahuan tidak
bisa serentak diperoleh dalam suatu waktu pengetahuan. Jarang sekali sebauh
objek pengetahuan menampilkan kebenaran mutlak. Kebenaran dicari dalam tahapan
pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis dan rasional.
Beberapa
ahli yang mencoba mengungkapkan definisi epistemology adalah P. Hardono Hadi.
Menurut beliau epistemology adalah cabang filsafat yang mencoba mempelajari dan
menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya,
serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemology adalah D.W Hamlyin,beliau
mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secata
umum hal itu dapat diandalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan. J.A Niels mengungkapkan epistemologi sebagai cabang filsafat yang
mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan.
Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau
pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.
B. Sumber pengetahuan
Sebuah
pengetahuan pasti mempunyai sumber. Menurut Soehartono Suparlan, Ph. D. (2007:
59), sumber pengetahuan berasal dari:
ü Kepercayaan
yang berdasarkan tradisi,
ü Kebiasaan-kebiasaan
dan agama,
ü Panca
indera/ pengalaman,
ü Akal
pikiran
ü Intuisi
individual.
Pengetahuan
yang bersumber dari kepercayaan dan kebiasaan
menunjukkan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa
yang hidup dan berlaku dalam adat istiadat, kebiasaan dan kehidupan agama.
Biasanya sumber pengetahuan ini banyak berkaitan dengan norma atau kaidah untuk
membentuk sikap, cara dan tingkah laku.
Tingkatan
pengetahuan ini diperoleh dengan cara yang sangat sederhana tanpa menggunakan
pendekatan dan metode apapun. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung, dengan
serta merta, yang secara naluriah diterima begitu saja (receprive)
tanpamemerlukan alasan, pembuktian, dan pengujian akan kebenaran. Apa yang
dilakukan oleh orang-orang pada umumnya harus diterima begitu saja tanpa kritik
apapun
Sedangkan
pengetahuan yang berasal dari intuisi merupakan pengetahuan yang berasaldari
bagian kejiwaan yang sangat sentral, sehigga bersifat batiniah. Sebagai sumber
pengetahuan, intuisi memperoleh pengetahuan secara langsung, tetapi jelas dan
pasti bagi orang tertetntu. Manusia seringkali bertindak berdasarkan
pengetahuan intuitifnya, dan sesering itu pula pengetahuannya benar. Oleh
karena itu orang perlu melatih kepekaan inuisinya agar mampu mendapatkan
pengetahuan yang lengkap. Namun yang menjadi masalah adalah bahwa apa yang
diketahui secara intuitif bagi seseorang belum tentu sama dengan orang lain.
Artinya cara seseorang endapatkan pengetahuan intuistif belum tentu bisa
berlaku bagi orang lain.
Beberapa
filsuf menyebutkan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi atau rasio. Akal
budi memiliki fungsi penting dalam proses pengetahuan. Beberapa filsuf lainnya
berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengetahuan inderawi. Pengetahuan
pada dasarnya bersandar atau bergantung pada panca indera serta pada pengalaman
empiris inderawi.. pertentangan kutub ide rasionalitas dan empirisme ini
didamaikan oleh Immanuel Kant yang menyatakan bahwa kendati seluruh ide dan
konsep bersifat apriori, ide dan konsep tersebut hanya dapat diaplikasikan
apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep tidak pernah
dapat diaplikasikan.[1]
C.
Aliran-aliran dalam epistemologi
Ada
beberapa aliran yang berbicara tentang epistemologi, diantaranya :
1.
Empirisme
Empiris
berasal dari bahasa Yunani yang bermakna pengalaman. Menurut aliran ini manusia
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata
yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.
John locke
(1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti
meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari
pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia
memiliki pengetahuan. Mula- mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana,
lama-lama sulit, lalu tersusunlah pengetahuan. bagaimanapun kompleks
(sulit)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada
pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukan
pengetahuan yang benar.
Karena itulah metode
penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen. Namun,
aliran empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia. Misalnya benda yang
jauh kelihatan kecil, sebenarnya benda itu kecil ketika dilihat dari jauh
sedangkan kalau dilihat dari dekat benda itu besar.
2. Rasionalisme
Secara
singkat aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan
diukur dengan akal. Manusia menmperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal
menangkap objek. Bapak aliran ini adalah Descartes (1596-1650). Descartes
seorang filosof yang tidak puas dengan filsafat scholastik yang pandangannya
bertentangan, dan tidak ada kepastian disebabkan oleh kurangnya metode berpikir
yang tepat. Dan ia juga mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-raguan.
Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia
sedang berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada dan jelas ia sedang
erang menderang. Cogito Ergo Sun
(saya berpikir, maka saya ada).
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang
kepada kebenaran. Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar. Karena
rasio saja yang dianggap sebagai sumber kebenaran, aliran ini disebut
rasionlisme. Aliran rasionalisme ada dua macam , yaitu dalam bidang agama dan
dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan
dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama.
Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan
sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan .
3. Positivisme
Tokoh
aliaran ini adalah august compte (1798-1857). Ia menganut paham empirisme. Ia
berpendapat bahwa indera itu sangat penting dalam memperoleh pengetahuan.
Tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan
ukuran-ukuran yang jelas. Misalnya untuk mengukur jarak kita harus menggunakan
alat ukur misalnya meteran, untuk mengukur berat menggunakan neraca atau
timbangan misalnya kiloan . Dan dari itulah kemajuan sains benar benar dimulai.
Kebenaran diperoleh dengan akal dan didukung oleh bukti empirisnya. Dan alat
bantu itulah bagian dari aliran positivisme. Jadi, pada dasarnya positivisme
bukanlah suatu aliran yang dapat berdiri sendiri. Aliran ini menyempurnakan
empirisme dan rasionalisme.
4. Intuisionisme
Henri
Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera
yang terbatas, akal juga terbatas. Objek yang selalu berubah, demikian bargson.
Jadi, pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelektual atau akal
juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan
dirinya pada objek itu, jadi dalam hal itu manusia tidak mengetahui keseluruhan
(unique), tidak dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada objek. Misalnya
manusia menpunyai pemikiran yang berbeda-beda. Dengan menyadari kekurangan dari
indera dan akal maka bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia, yaitu intuisi.
5. Kritisme
Aliran ini dimunculkan pada abad
ke 18 oleh seorang ahli pikir jerman, Immanuel Kant (1724-1804) mencoba
menyelesaikan persoalan diatas, pada awalnya, kant mengikuti rasionalisme
tetapi terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya kant mengakui peranan akal
harus dan keharusan empiris, kemudian dicoba mengadakan sintesis.
Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya
pengertian timbul dari pengalaman (empirisme). Jadi, metode berpikirnya disebut
metode kiritis. Walaupun ia mendasarkan diri dari nilai yang tinggi dari akal,
tetapi ia tidak mengingkari bahwa adanya persoalan-persoalan yang melampaui
akal.
6. Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran
yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitan
dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh
plato dan pada filsafat modern. Idealisme mempunyai argumen epistemologi
tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi
tergantung pada spirit tidak disebut idealisme karena mereka tidak menggunakan
argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme. Idealisme secara umum
berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah mazhab epistemologi yang
mengajarkan bahwa pengetahuan apriori atau deduktifdapat diperoleh dari manusia
dengan akalnya.
D.
Penelitian Ilmiah Sebagai Landasan
Setelah mencoba
menyelami lebih mendalam tentang pengetahuan, sumber dan aliran epistemologi,
timbul asumsi bahwa setiap proses pengetahuan menuju sebuah pengetahuan yang
ilmiah tidak lepas dari aturan dan tahapan-tahapan yang telah terstruktur dan
sistematis demi mencapai suatu ilmu
pengetahuan yang hakiki dan tidak diragukan lagi keabsahannya. begitu
pula dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan.
Dewasa ini, ilmu
pengetahuan tidak lepas dari realitas dan fakta yang telah menjadi sebuah
fenomena yang mengakar dalam kehidupan kita. begitu pula ilmu komunikasi yang
akan kita kaji dalam pembahasan ini, ilmu komunikasi yang memiliki objek kajian
yang sangat dekat sekali dengan manusia memberikan kita kesimpulan bahwa dalam
pengembangan ilmu ini memerlukan suatu landasan yang menghantarkan kita pada
sebuah pertanyaan : melalui proses apa kita dapat mewujudkan pengembangan
ini?.
Ketika kita
kaitkan dengan isu-isu epistimologis yang berkembang, diantara isu-isu
epistimologis yang penting menurut Little jhon (2002:26), adalah pertanyaan:
dengan proses apa pengetahuan itu muncul?. Pertanyaan ini sangat kompleks, dan
debat pada isu ini terletak pada jantung epistimologi. ada 4 hal pokok pada isu
ini, yaitu:
1.Rasionalisme, yang menyarankan bahwa pengetahuan muncul dari
kekuatan pikiran manusia balaka untuk mengetahui kebenaran.
2. Empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam
persepsi. kita mengalami dunia dan secara harfiah melihat apa yang terjadi.
3. Kontruksivisme, bahwa orang menciptakan pengetahuan agar secara
pragmatis berfungsi di dunia dan bahwa mereka memproyeksikan dirinya sendiri ke
dalam apa yang dialaminya. fenomena di dunia ini dapat dipahami dengan baik dengan banyak cara yang berbeda
dan bahwa pengetahuan adalah apa yang telah diperbuat manusia di bumi ini.
4. konstruksionisme sosial, yang mengajarkan bahwa pengetahuan
adalah suatu produk intraksi simbiolik dalam kelompok-kelompok sosial. realitas
terbentuk secara sosial dan suatu produk dan kelompok dan kehidupan masyarakat[2].
E. Pengembangan Ilmu
Komunikasi melalui Penelitian Ilmiah
Berdasar uraian
epistimologis di atas, maka cara pengembangan ilmu komunikasi melalui
penelitian ilmiah dilakukan kedalam 3 jenis penelitian, yaitu:
1. Analisis Wacana
Wacana dalam bahasa inggris disebut discourse.
Secara bahasa, wacana berasal dari bahasa Sansekerta “wac/wak/vak” yang artinya
“berkata, berucap” kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana.
Kata ‘ana’ yang berada di belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna
“membendakan”. Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataaan
atau tuturan. Menurut kamus bahasa Indonesia Kontemporer, kata wacana itu
mempunyai tiga arti. Pertama, percakapan; ucapan; tuturan. Kedua, keseluruhan
cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar yang realisasinya
merupakan bentuk karangan yang utuh.
Komunikasi
dapat terjadi dengan menggunakan isyarat tunggal maupun gabungan. biasanya
dalam berkomunikasi melibatkan lebih banyak lagi daripada sekedar ucapan-ucapan
dan aksi-aksi. kebanyakan dalam komunikasi, dari yang biasa sampai yang
terperinci, terdiri dari aksi-aksi kompleks yang membentuk pesan-pesan atau
wacana. adapun studi tentang struktur pesan disebut analisis wacana
(Littlejhon, 2002:76)[3].
Sebenarnya,
teori wacana dalam tradisi filsafat sudah sangat tua. Aristoteles pernah
membahasnya secara dalam karyanya interpretatione. Analisis wacana adalah studi
tentang struktur pesan dalam suatu komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi
(pragmatik) bahasa. Melalui analisis wacana, kita tidak hanya mengetahui isi
teks yang terdapat pada suatu wacana, tetapi juga mengetahui pesan yang ingin
disampaikan, mengapa harus disampaikan, dan bagaimana pesan-pesan itu tersusun,
dan dipahami. Analisis Wacana akan memungkinkan untuk memperlihatkan motivasi
yang tersembunyi di belakang sebuah teks atau di belakang pilihan metode
penelitian tertentu untuk menafsirkan teks. Objek kajian atau penelitian
analisis wacana pada umumnya berpusat pada bahasa yang digunakan sehari-hari,
baik yang berupa teks maupun lisan. Jadi objek kajian atau penelitian analisis
wacana adalah unit bahasa diatas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan
konteks yang eksis dikehidupan sehari-hari, misalnya naskah pidato, rekaman
percakapan yang telah dinaskahkan, percakapan langsung, catatan rapat, dan
sebagainya, dan pembahasan wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap
hubungan antara konteks-konteks yang terdapat dalam teks. Pembahasan itu
bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran (utterances)
yang membentuk wacana.
2. Analisis Semiotik
Komunikasi
adalah negoisasi dan pertukaran makna dalam mana pesan dibangun oleh masyarakat
berdasar budaya dan realitas yang mampu berintraksi karena menggunakan makna
yang mereka bangun dan mereka pahami bersamama untuk menumbuhkan saling
pengertian(Sulvian dalam Purwasito,2003:240).
Preminger
(dalam Sobur, 2002:96), memberi batasan, Semiotika adalah ilmu tentang
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Dalam kajian komunikasi, semiotika merupakan ilmu penting,
sebab tanda-tanda (signs) merupakan basis utama dari seluruh komunikasi
(Littlejohn, 1996). Sebab dengan tanda-tanda manusia dapat melakukan komunikasi
apapun dengan sesamanya (Sobur, 2004: 15)[4].
Dalam perkembangannya,
kajian semiotika berkembang kepada dua klasifikasi utama, yakni semiotika
komunikasi dan semiotika signifikasi (lihat dalam Eco, 1979; dan Hoed, 2001).
Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah
satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi (pengirim,
penerima, pesan, saluran dan acuan). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan
tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu (Sobur,
2004: 15). Di sinilah munculnya berbagai cabang kajian semiotika seperti
semiotika binatang (zoomsemiotics), semiotika medis (medicals
semiotics) dan lain-lain, yang mana menurut Eco (1979) mencapai 19 bidang
kajian (lihat dalam Sobur, 2004: 109).
Kata semiotika itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda
(Sudjiman dan Van Zoest, 1996), atau seme yang berarti
penafsir tanda (Cobley dan Jansz, 1999), atau apa yang lazim dipahami
sebagai a sig by which something in knownatau suatu tanda dimana
sesuatu dapat diketahui (John Lock, 1960). Semiotika berakar dari
studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Kurniawan,
2001). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada
adanya hal yang lain, sebagai contoh, asap menandai adanya api (Sobur, 2004:
17). Secara singkat, dapat kita simpulkan bahwa analisis semiotika (semiotical
analysis) merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan
makna-makna terhadap paket-paket lambang pesan atau teks dengan segala
bentuknya (sign) baik pada media massa maupun dokumen/teks lainnya
(Pawito, 2007: 155). Dengan kata lain, analisis semiotika bekerja untuk melacak
makna-makna yang diangkut dengan teks berupa lambang-lambang (signs),
dimana tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis dalam penelitian
semiotika.
Semiotik sebagai suatu
model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang
memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Umberto Eco menyebut tanda
tersebut sebagai "Kebohongan" (Gottdiener dalam Sobur,2002: 87).
Menurut Saussure, persepsi dan pandanagn kita tentang realitas, dikonstruksika
oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal
ini dianggap sebagai pendapat yang cukup mengejutkan dan dianggap revolusioner,
karena hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar
merefleksikan realitas yang ada(Bignell dalam Sobur, 2002:87)[5].
Semiotika membahas
tentang keragaman bahasa dari tiga perspektif: Semantika, yakni studi tentang
makna; Sintatika, yang berurusan dengan kaidah dan struktur yang menghubungkan
tanda-tanda satu sama lain (misalnya tata bahasa); dan Pragmatika, yaitu
analisis penggunaan dan akibat permainan kata(Dan Nimmo, 2002:93).
Terdapat sembilan macam
Semiotik yang kita kenal, menurut pateda (dalam Sobur, 2002:100):
a. Semiotik Analitik, yakni
semiotik yang menganalisis sistem tanda.Peirce mengatakan bahwa semiotic berobjekkan
tanda, menganalisisnya menjadi ide,objek dan makna. ide dapat dikatakan sebagai
lambang, sedangkan makana adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu
pada objek tertentu.
b. Semiotik Deskriptif,
yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang,
meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikasn sekarang,
misal langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun.
c. Semiotik Faunal (Zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan, misal seekor ayam yang
berkotek-kotek menandakan telah bertelur.
d. Semiotik Kultural, yakni
semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan
masyarakat tertentu. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan
sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan
masyarakat lainnya.
e. Semiotik Naratif, yakni
semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos, dan
cerita lisan, ada di antaranya mempunyai nilai kultural tinggi.
f. Semiotik Natural, yakni
semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air
sungai yang keruh menandakan di hulu telah turun hujan, Banjir atau tanah
longsor menandakan manusi telah merusak alam.
g. Semiotik Naratif, yakni
semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang
berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
h. Semiotik Sosial, yakni
semiotik yang khusus menlaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang
berwujud lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.Dengan kata
lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.
i.
Semiotik Struktural, semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa[6].
3. Analisis Framing
Pada
dasarnya analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis
wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Dalam perspektif komunikasi,
analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat merekonstruksi
fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan , dan pertautan
fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau
lebih diingat, untuk mengiringi interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana
perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu
atau menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan
fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta
hendak dibawa kemana berita tersebut[7].
Disiplin ilmu Analisis Framing bekerja dengan didasarkan
pada fakta bahwa konsep ini bisa ditemui di berbagai literatur lintas ilmu
sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana, analisis bingkai mencoba untuk
membangun sebuah komunikasi-bahasa, visual, dan pelaku, dan menyampaikannya
kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi
baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga
dapat diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis.
Media
frames (framing media) telah didefinisikan oleh Tuchman dalam Scheufele
(1999:106) bahwa framing berita mengorganisasikan realitas berita setiap hari.
Framing media juga mencirikan sebagai kerja jurnalis untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan informasi secara cepat dan menyampaikan secara capat kepada
para pembaca. Kegiatan framing merupakan kegiatan penyeleksian beberapa aspek
dari realita dan membuatnya lebih penting dalam sebuah teks. Selain itu lebih
berperan dalam penyelesaian dan pemehaman definisi dari permasalahan,
interpretasi sebab akibat (kausal), evaluasi moral, dan rekomendasi
metode-metode selanjutnya.
Kegiatan framing, penyajian peristiwa dan berita
mampu memberikan pengaruh yang sistematis tentang metode agar penerima berita
mengerti.
Individual frames (framing individu) didefinisikan sebagai kegiatan penyimpanan ide yang membimbing proses informasi secara individu. (Entman dalam Scheufele, 1999:107).
Individual frames (framing individu) didefinisikan sebagai kegiatan penyimpanan ide yang membimbing proses informasi secara individu. (Entman dalam Scheufele, 1999:107).
Framing,
kata Etmant dalam (Sobur,2002:164), memiliki implikasi penting dalam komunikasi
politik. Frames menurutnya menuntut aspek dari realitas dengan mengabaikan
elemen-elemen yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Politisi
mencari dukungan dengan memaksa kompetisi satu sama lain. merekan bekeja sama
jurnalis membangun frame berita, sehingga framing memainkan peran utama dalam
mendesakkan kekuasaan politik, dan frame dalam teks berita sungguh merupakan
kekuasaan yang tercetak, ia menunjukan identitas para aktor atau interest yang
berkompetisi untuk mendominasi teks[8].
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Peradaban manusia
semakin berkembang dengan munculnya ilmu-ilmu baru. Ilmu-ilmu baru ini tidak
terlepas dari landasan yang dipakai ilmu-ilmu pada masa lampau yaitu filsafat.
Setiap ilmu berpangkal pada filsafat. Para ilmuan dalam memecahkan masalah-masalah keilmuan harus berusaha
menemukan jawaban yang sebijaksana mungkin. Salah satu dasar pemikiran atau
cabang dari filsafat yakni Epistimologi, yang biasanya disebut juga teori
pengetahuan. Dari itu pula dalam perkembangannya, mulai bermunculan
aliran-aliran epistemologi yang mempertanyakan sumber sebenarnya dari
pengetahuan yang didapatkan manusia. Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi
epistimologi berusaha mengembangkannya dengan penelitian ilmiah yang mencakup
analisis wacana, analisis semiotik (tanda-tanda atau symbol dalam komunikasi)
dan analisis framing (versi terbaru dari pendekatan analisis wacana).
Daftar Pustaka
Mufid, Muhammad. (2009) Etika dan Filsafat Komunikasi Jakarta
: Kencana
Susanto, Astrid (1976) Filsafat Komunikasi Bandung : Binacipta
Vardiansyah, Dani. (2008) Filsafat Ilmu Komunikasi Jakarta
: Indeks
Zamroni, Moh. (2009) Filsafat Komunikasi, Pengantar Ontologis, Epistemologis,
Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[1] Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta : Kencana,
2009), hlm. 28
[2] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar
Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.88
[3] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar
Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.88-89
[4] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar
Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.91-92.
[5] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar
Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.92.
[6] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar
Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.93-94
[7] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar
Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2009),hlm.94-96
[8] Moh.Zamroni, Filsafat Komunikasi,Pengantar Ontologis,Epistimologis,Aksiologis,(Yogyakarta:
Graha Ilmu,2009),hlm.96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar