Selasa, 10 Maret 2015

Kebebasan Pers di Indonesia



Hukum dan Etika Jurnalistik
Nama :Tiara Apriyani (14210051)                    Listiana Khasanah (14210084)

“Kebebasan Pers di Indonesia”
A.    LATAR BELAKANG
Tidak bisa dipungkiri, peranan pers dewasa ini sangatlah penting.Dalam demokrasi modern, komunikasi antar masyarakat dan pemerintah tidak bisa dipisahkan dari unsur pers. Hal ini dikarenakan pers mengamati realitas sosialpada politik dan pemerintah  yang nantinya  akan disampaikan kepada masyarakat.  Masyarakat bisa mengetahui dan menilai baik buruknya sebuah pemerintahan dalam suatu negara karena adanya pers. Karena fungsi dari  persitu sendiri adalah sebagai kontrol sosial dan pengubah keadaan ke arah yang lebih baik.
Bila membuka kembali lembar-lembar sejarah perkembangan dan perjalanan panjang pers Indonesia, maka kita akan menemukan beberapa tahapan atau periodesasi. Sejak awal perkembangannya, pers dalam sejarahnya mengalami banyak tekanan di dalamnya.Kebebasan pers mendapat batasan dari mulai pemerintahan Belanda, Jepang, rezim Orde Baru hingga masa reformasi saat ini. Dengan segala keterbatasannnya dari masa ke masa, pers saat masa reformasi kini mulai mendapatkan hak kemerdekaannya .
Namun pers dengan segala fakta yang ada di belakangnya kini mengalami kompleksitas yang kinerjanya perlu disoroti bersama. Setelah musnahnya masa orde baru, di mana pers begitu  dimatikan kebebasannya, kini  kebebasan pers yang diberi oleh konstitusi dianggap “kebablasan”. Apakah kemudian kebebasan pers yang sudah lenyap 32 tahun lamanya harus kembali diulang hingga kebebasan yang diberikan pers saat ini tidak  lagi dianggap kelewatan? Dan apakah kemerdekaan pers yang dimiliki saat ini perlu ditinjau ulang untuk mencari jawaban,  konstitusi yang salah atau pers yang memang sudah dirasa melewati batas?
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kebebasan pers?       
2.
Bagaimana sejarah kebebasan pers di Indonesia?  
3.
Sudah idealkah  kebebasanpers di Indonesia saat ini?
C. TUJUAN
1.      Mahasiswa dapat mengetahui definisi dari pers dan kebebasannya
2.      Mahasiswa  mengetahui sejarah kebebasan pers dari masa ke masa
3.      Mahasiswa dapat menyimpulkan eksistensi pers saat ini
D. PEMBAHASAN
I.       Pengertian Kebebasan Pers 
Sebelum membahas pada definisi kebebasan pers alangkah lebih baiknya jika terlebih dahulu mengurai tentang definisi bebas.Apa itu bebas? Bebas artinya kondisi seseorang yang tidak dipaksa melakukan sesuatu.Sedangkan pers berasal dari bahasa latinpressareyang berarti tekan atau cetak. Pers lalu diartikan sebagai media massa cetak (printing media).[1]
Adapun pengertian kebebasan pers itu sendiri menurut berbagai sumber antara lain sebagai berikut : 
1.      Kebebasan pers dalam bahasa Inggrisnya disebut Freedom of Opinion and Expression dan Freedom of the Spech. John C. Merril (1989) merumuskan kebebasan pers sebagai suatu kondisi riil yang memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan mengerjakan tugas sesuai keinginan mereka. Bebas dari (negatif) dan bebas untuk (positif) .[2]
2.      Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media atau bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, percetakan dan penerbitan melalui surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. [3]
3.       Kebebasan pers menurut pandangan Islam haruslah sesuai dengan azas atau norma yang berlaku jangan sampai pers tersebut menyimpang dari azas atau norma tersebut.
Dari tiga definisi yang sudah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers adalah hak  seseorang untuk memperoleh berbagai informasi dari media massa baik media massa cetak maupun media massa elektronik tanpa mengganggu norma-norma yang diberlakukan oleh konstitusi yang berlaku.
II.                Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia
Sejarah pers Indonesia mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik masyarakat Indonesia.Selama 69tahun kemerdekaan Indonesia, pers pernah mengalami beberapa kali kebebasan, yakni pada awal kemerdekaan, pemerintahan kabinet parlementer, pemerintahan Orde Baru dan pada era reformasi saat ini. Pada waktu-waktu lainnya, kebebasan pers di Indonesia mengalami berbagai tekanan.
Ada enam ketentuan hukum yang dapat dicatat yang membatasi kebebasan pers di Indonesia, yakni (1) Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; (2) Peperti Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengawasan Dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor307 tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; (4) Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang Pengaturan Memajukan Pers; (6) Peraturan Menpen Tahun 1970 tentang Surat Izin Terbit, dan (6) Peraturan MenpenNomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP.
            Sejarah kebebasan pers memang terlalu panjang untuk dijelaskan, karena pada zaman penjajahan Belanda hingga Jepang, tekanan pers sudah mulai dirasakan.Pers mengalami kebebasannya ketika masa Orde Baru runtuh, dan di zaman reformasi ini, bisa dikatakan pers sudah mencapai kemerdekannya. Dalam tulisan ini, akan membahas sejarah pers dalam enam periodisasi. Yakni :
1)      1900-1945 (Periode Gerakan Kemerdekaan)
Pers Indonesia adalah alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat sebagai usaha untuk memperbaiki nasib rakyat yang terjajah dengan sarana yang serba sederhana dan kekurangan.Pers menjadi saluran pemimpin dan keinginan rakyat, sehingga penguasa Belanda berusaha menghalang-halangi perkembangan pers nasional karena sangat berbahaya bagi penjajah Belanda.
2)      1942-1945 (Periode Penjajahan Jepang)
Pers seluruhnya dikuasai oleh tentara militer Jepang, pers hanya menjadi alat bagi kepentingan Jepang untuk menyuarakan dan menggelorakan “Asia Timur Raya”.Media pers yang ada sama sekali tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menyampaikan sikap serta ekspresi dirinya, karena semuanya berada dalam kendali dan kontrol penguasa pendudukan Jepang.
3)      1945-1950 (Periode Revolusi Fisik)
Pada masa ini pers digunakan sebagai alat perjuangan, penyebar semangat revolusioner yang merupakan modal utama untuk melanjutkan perlawanan menentang penjajah.Karena ternyata kemerdekaan tidak menjamin penjajah telah benar-benar pergi dari Indonesia.
4)      1950-1959 (Periode Liberal)
Pada periode ini, semua hal berorientasi pada sistem liberal.Pers di Indonesia hanya menjadi alat bagi kepentingan partai-partai politik yang berlomba-lomba untuk merebutkan kekuasaan di pemerintah dengan mencoba menanamkan pengaruh pada masyarakat melalui media.
5)      1959-1965 (Periode Demokrasi Terpimpin)
Fungsi pers pada masa ini tidak berjalan sesuai dengan perannya sebagai lembaga sosial.Fungsi kritik dan kontrol sosial serta kebebasan pers ditekan oleh penguasa pada masa ini.
6)      1965-1998 (Masa Orde Baru)
Pada masa ini, pers hidup di bawah sistem otoritarian.Pers tidak memiliki kebebasan dan selalu mengalami tekanan politik, pembredelan, maupun pembatasan kebebasan seperti adanya mekansme politik Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).Pers pada rezim ini benar-benar terkekang.Media  yang harusnya menjadi wacana politik bertransformasi menjadi industri komersil yang signifikan.
Setelah berakhirnya rezim orde baru, perkembangan pers Indonesia disebut “pers reformasi”.Dorongan demokratisasi, liberalisasi ekonomi dan politik berdampak luas pada era reformasi.Berbagai bentuk peraturan yang dahulu membatasi kebebasan politik secara umum, maupun kebebasan pers secara khusus, mulai dihapuskan.Kemerdekaan pers secara utuh itu tak lepas dari peran Abdurrahman Wahid yang pada masa pemerintahannya menghapuskan peraturan-peraturan diskriminatif.Maka, pada saat yang sama, struktur pers nasional juga berubah drastis,dari yang hanya media cetak , mulailah muncul bentuk media televisi, radio,  serta internet. Saat itulah, pers pada era reformasi mulai berfungsi menjadi lembaga kontrol sosial.
III.             Menyikapi Kebebasan Pers di Indonesia Saat Ini
Menilik kembali sejarah pers nasional sebelumnya, yang seakan tidak memiliki kemampuan dan tak berdaya untuk melepaskan diri dari pengaruh serta campurtangan pemerintah yang kuat, kini pers mendadak menggeliat dan bangkit dari ketidakberdayaannya. Pers mendapatkan angin yang segar. Angin kebebasan, angin kemerdekaan pers.
Berbicara tentang kebebasan memang tidak bisa dilepaskan dari anggapan liberal.Kebebasan pers sering disalahartikan seolah-olah demi kebebasan persitu semata-mata.Pers era reformasi menjadi ruang publik milik masyarakat untuk menjadi pengawas pada percaturan politik saat ini. Namun sayangnya, media pers sekarang dimiliki oleh pemodalnya untuk kepentingan pribadi .Padahal kebebasan berkekspresi merupakan salah satu agenda penting reformasi. Setelah reformasi berjalan kurang lebih 15tahun,  justru pers hanya menjadi alat bagi kepentingan pemodal, hingga sebagian masyarakat mengangggap pers yang ada sekarang ini sudah liberal, mengingat lebih dari 30 tahun lebih pemerintah orde baru , kebebasan pers dikebiri.
Sesungguhnya kebebasan pers terutama sekali adalah demi kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi serta untuk mengungkapkan pikiran dan menyatakan pendapatnya.Saat ini, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menurut berbagai kalangan dikatakan sebagai undang-undang yang ‘terlalu liberal’.Dalam UU No.40/1999 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan perannya, pers menghormati hak asasi setiap orang.Jelas sekali dalam fungsinya tentunya pers harus mampu bersikap fleksibel dan bergerak dinamis.Mengkaji kembali mengapa masyarakat kemudian menganggap pers saat ini dianggap “kelewatan”.
Jika menilik kembali kasus penetapan pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat  sebagai tersangka atas kasus pemuatan kartun yang mencantumkan karikatur dengan kalimat bertuliskan Arab La Illaha Ilallah pada sebuah gambar tengkorak khas bajak laut pada bulan Juli laluyang merupakan pelanggaran UU No.40/1999. Karikatur itupundianggap merupakan tindak pidana penistaan agama.
Dari kasus tersebut muncul opini bahwa pers dianggap terlalu liberal hingga menistakan salah satu agama.Padahal seperti yang sudah diketahui, bahwa pers Indonesia memiliki kode etik yang wajib dipegang oleh para pekerja persitu sendiri.Artinya, pers di Indonesia masih dikatakan ideal dan belum liberal jika pekerja pers memegang kendali untuk tetap memberi informasi sesuai dasar undang-undang yang berlaku.Sehingga apabila melakukan pelanggaran dalam kode etik yang berlaku maka akan dikenakan hukuman sesuai sanksi yang ada.
Berangkat dari kasus karikatur majalah The Jakarta Post maka tidak ada salahnya apabila kemudian dikaitkan pada kasus penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Prancis hingga menewaskan pemimpin redaksinya atas kasus kartun sarkastik yang vulgar, berita, polemik dan “jokes-jokes” ala Charlie Hebdo. Penyerangan brutal itu tentu bisa menjadi rujukan kembali pada kebebasan pers di Indonesia bahwa; Indonesia sangat menjunjung tinggi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan pers. Kebebasan pers di Indonesia dilaksanakan dengan berpegang erat pada fungsi kebebasan pers sendiri yakni tidak hanya menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, tetapi dituntut pula untuk menghormati hak asasi setiap orang.
            Oleh karena itu, pers di Indonesia dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka terhadap kontrol masyarakat.Dewan Pers telah menegaskan bahwa kontrol masyarakat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan “Hak Jawab dan Hak Koreksi” guna menghindari media pers yang menyimpang dan menciderai arti kebebasan pers yang sesungguhnya.
Kebebasan pers adalah adalah hak milik publik yang harus diperoleh sebagai konskuensi dari hak memperoleh informasi (right to know) dan hak menyampaikan pendapat (right to express). Konsep kebebasan pers beda dari pers bebas. Kebebasan pers adalah norma kultural yang jadi acuan nilai bersama (share values) di ruang publik, sedangkan pers bebas adalah kondisi yang melandasi keberadaan institusi pers yang menjamin otonomi pers menjalankan fungsi sosialnya. Kebebasan pers adalah istilah yang menunjuk jaminan atas hak-hak warga memperoleh informasi sebagai dasar guna mebentuk sikap dan pendapat dalam konteks sosial dan estetis yang untuk itu diperlukan media massa sebagai institusi kemasyarakatan. Secara politikkebebasan pers berarti hak warga untuk mengetahui berbagai masalah publik dan mendeseminasikannya secara terbuka. [4]
Maka idealnya, pers dianggap sesuai  apabila tidak menyinggung SARA dan mematuhi kode etik yang berlaku.Karena hakikatnya pers adalah penyambung lidah rakyat pada pemerintah.Datangnya era reformasi, persharus mulai membangun kesadaran untuk kembali menemukan jatidirinya.Pers ada sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.Pers dituntut professional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat sebab perannya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan media kontrolsosial.
IV.              KESIMPULAN 
Kebebasan pers dengan pers yang bebas adalah dua kata yang hampir sama namun berbeda makna. Kebebasan pers adalah hak seseorang untuk memperoleh informasi dan mengemukakan pendapat.Sedangkan pers bebas adalah kondisi yang melandasi keberadaan institusi pers yang menjamin otonomi pers menjalankan fungsinya.Dalam kinerjanya, kebebasan pers mengalami banyak tekanan oleh pemerintah dari masa ke masa, hingga pada era reformasi ini, pers benar-benar mendapatkan hak kemerdekannya secara utuh dengan tidak lepas dari undang-undang yang berlaku yakni UU No.40/1999.Maka agar pers tidak dianggap liberal, idealnya pers harus bekerja secara professional dengan mematuhi UU yang berlaku. Karena kemerdekaan pers yang didapat saat ini adalah buah perjuangan dari masa-masa pemerintahan yang pelik sebelumnya,  di mana kebebasan pers begitu dikebirikan, terlebih pada rezim Orde Baru, di mana konteks kebebasan pers yang terjadi di masa-masa itu adalah kondisi pers yang berada dalam posisi sulit dan rumit. Pers mengalami kesulitan untuk menemukan jalan keluarlain selain menempatkan dirinya untuk patuh terhadap semua kebijakan pemerintah, meskipunapapun langkah pemerintah itu dipandang tidak sesuai. Mau tidak mau, pers harus mau berjalan di belakangnya, bekerjasama dengan segala langkah dan kebijakan pemerintah.Bila pers tidak mau bekerjasama, maka dapat dipastikan media pers itu harus rela eksistensinya mati ditelan revolusi.
V.                Daftar Pusaka
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press,  Yogyakarta, 2005
Salvatore Simarmata, Media dan Politik, Pustaka Obor, Jakarta, 2014


[1]Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik (UII Press : Yogyakarta, Cet. 2, 2005) h. 8
[2]Ibid
[3] http://m.kompasiana.com/post/read/496224/2kebebasan-pers-di-indonesia-html
[4]Masduki, op.cit h. 7