Nama :Tiara Apriyani (14210051) Listiana Khasanah (14210084)
“Kebebasan Pers di
Indonesia”
A.
LATAR BELAKANG
Tidak bisa dipungkiri, peranan pers dewasa ini
sangatlah penting.Dalam demokrasi modern, komunikasi antar masyarakat dan
pemerintah tidak bisa dipisahkan dari unsur pers. Hal ini dikarenakan pers
mengamati realitas sosialpada politik dan pemerintah yang nantinya
akan disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat bisa mengetahui dan menilai baik
buruknya sebuah pemerintahan dalam suatu negara karena adanya pers. Karena
fungsi dari persitu sendiri adalah sebagai
kontrol sosial dan pengubah keadaan ke arah yang lebih baik.
Bila membuka kembali lembar-lembar
sejarah perkembangan dan perjalanan panjang pers Indonesia, maka kita akan
menemukan beberapa tahapan atau periodesasi. Sejak
awal perkembangannya, pers dalam sejarahnya mengalami banyak tekanan di
dalamnya.Kebebasan pers mendapat batasan dari mulai pemerintahan Belanda,
Jepang, rezim Orde Baru hingga masa reformasi saat ini. Dengan segala
keterbatasannnya dari masa ke masa, pers saat masa reformasi kini mulai
mendapatkan hak kemerdekaannya .
Namun pers dengan segala fakta yang ada di
belakangnya kini mengalami kompleksitas yang kinerjanya perlu disoroti bersama.
Setelah musnahnya masa orde baru, di mana pers begitu dimatikan kebebasannya, kini kebebasan pers yang diberi oleh konstitusi
dianggap “kebablasan”. Apakah kemudian kebebasan pers yang sudah lenyap 32 tahun
lamanya harus kembali diulang hingga kebebasan yang diberikan pers saat ini
tidak lagi dianggap kelewatan? Dan
apakah kemerdekaan pers yang dimiliki saat ini perlu ditinjau ulang untuk
mencari jawaban, konstitusi yang salah
atau pers yang memang sudah dirasa melewati batas?
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kebebasan pers?
2. Bagaimana sejarah kebebasan pers di Indonesia?
3. Sudah idealkah kebebasanpers di Indonesia saat ini?
2. Bagaimana sejarah kebebasan pers di Indonesia?
3. Sudah idealkah kebebasanpers di Indonesia saat ini?
C. TUJUAN
1.
Mahasiswa dapat
mengetahui definisi dari pers dan kebebasannya
2.
Mahasiswa mengetahui sejarah kebebasan pers dari masa ke
masa
3.
Mahasiswa dapat
menyimpulkan eksistensi pers saat ini
D. PEMBAHASAN
I.
Pengertian Kebebasan Pers
Sebelum membahas pada definisi kebebasan pers
alangkah lebih baiknya jika terlebih dahulu mengurai tentang definisi bebas.Apa
itu bebas? Bebas artinya kondisi seseorang yang tidak dipaksa melakukan
sesuatu.Sedangkan pers berasal dari bahasa latinpressareyang berarti tekan atau cetak. Pers lalu diartikan sebagai
media massa cetak (printing media).[1]
Adapun pengertian kebebasan pers itu sendiri menurut
berbagai sumber antara lain sebagai berikut :
1.
Kebebasan pers dalam
bahasa Inggrisnya disebut Freedom of
Opinion and Expression dan Freedom of
the Spech. John C. Merril (1989) merumuskan kebebasan pers sebagai suatu
kondisi riil yang memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan
mengerjakan tugas sesuai keinginan mereka. Bebas dari (negatif) dan bebas untuk
(positif) .[2]
2.
Kebebasan pers (bahasa
Inggris: freedom of the press) adalah
hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan
dengan media atau bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan,
percetakan dan penerbitan melalui surat kabar, majalah, buku atau dalam
material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari
pemerintah. [3]
3.
Kebebasan pers menurut pandangan Islam
haruslah sesuai dengan azas atau norma yang berlaku jangan sampai pers tersebut
menyimpang dari azas atau norma tersebut.
Dari tiga definisi yang sudah
dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers adalah hak seseorang untuk memperoleh berbagai informasi
dari media massa baik media massa cetak maupun media massa elektronik tanpa
mengganggu norma-norma yang diberlakukan oleh konstitusi yang berlaku.
II.
Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia
Sejarah pers Indonesia
mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik masyarakat Indonesia.Selama 69tahun kemerdekaan Indonesia, pers pernah mengalami
beberapa kali kebebasan, yakni pada awal
kemerdekaan, pemerintahan kabinet parlementer, pemerintahan
Orde Baru dan pada era reformasi saat
ini. Pada waktu-waktu lainnya, kebebasan pers di Indonesia mengalami berbagai
tekanan.
Ada enam
ketentuan hukum yang dapat dicatat yang membatasi kebebasan pers di Indonesia,
yakni (1) Peperti
Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; (2) Peperti Nomor 2 Tahun 1961
tentang Pengawasan Dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor307
tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; (4) Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun
1963 tentang Pengaturan Memajukan Pers; (6) Peraturan Menpen Tahun 1970 tentang
Surat Izin Terbit, dan (6) Peraturan MenpenNomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP.
Sejarah
kebebasan pers memang terlalu panjang untuk dijelaskan, karena pada zaman penjajahan
Belanda hingga Jepang, tekanan pers sudah mulai dirasakan.Pers mengalami
kebebasannya ketika masa Orde Baru runtuh, dan di zaman reformasi ini, bisa
dikatakan pers sudah mencapai kemerdekannya. Dalam tulisan ini, akan membahas
sejarah pers dalam enam periodisasi. Yakni :
1)
1900-1945 (Periode Gerakan
Kemerdekaan)
Pers Indonesia adalah alat untuk memperjuangkan hak-hak
rakyat sebagai usaha untuk memperbaiki nasib rakyat yang terjajah dengan sarana
yang serba sederhana dan kekurangan.Pers menjadi saluran pemimpin dan keinginan
rakyat, sehingga penguasa Belanda berusaha menghalang-halangi perkembangan pers
nasional karena sangat berbahaya bagi penjajah Belanda.
2)
1942-1945 (Periode Penjajahan
Jepang)
Pers seluruhnya dikuasai oleh
tentara militer Jepang, pers hanya menjadi alat bagi kepentingan Jepang untuk
menyuarakan dan menggelorakan “Asia Timur Raya”.Media pers yang ada sama sekali
tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menyampaikan sikap serta
ekspresi dirinya, karena semuanya berada dalam kendali dan kontrol penguasa
pendudukan Jepang.
3)
1945-1950 (Periode Revolusi Fisik)
Pada masa ini pers digunakan sebagai alat perjuangan,
penyebar semangat revolusioner yang merupakan modal utama untuk melanjutkan
perlawanan menentang penjajah.Karena ternyata kemerdekaan tidak menjamin
penjajah telah benar-benar pergi dari Indonesia.
4)
1950-1959 (Periode Liberal)
Pada periode ini, semua hal berorientasi pada sistem
liberal.Pers di Indonesia hanya menjadi alat bagi kepentingan partai-partai
politik yang berlomba-lomba untuk merebutkan kekuasaan di pemerintah dengan
mencoba menanamkan pengaruh pada masyarakat melalui media.
5)
1959-1965 (Periode Demokrasi
Terpimpin)
Fungsi pers pada masa ini tidak berjalan sesuai dengan
perannya sebagai lembaga sosial.Fungsi kritik dan kontrol sosial serta
kebebasan pers ditekan oleh penguasa pada masa ini.
6)
1965-1998 (Masa Orde Baru)
Pada masa ini, pers hidup di bawah sistem otoritarian.Pers tidak
memiliki kebebasan dan selalu mengalami tekanan politik, pembredelan, maupun pembatasan
kebebasan seperti adanya mekansme politik Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP).Pers pada rezim ini benar-benar terkekang.Media yang harusnya menjadi wacana politik
bertransformasi menjadi industri komersil yang signifikan.
Setelah
berakhirnya rezim orde baru, perkembangan pers Indonesia disebut “pers
reformasi”.Dorongan demokratisasi, liberalisasi ekonomi dan politik berdampak
luas pada era reformasi.Berbagai bentuk peraturan yang dahulu membatasi
kebebasan politik secara umum, maupun kebebasan pers secara khusus, mulai
dihapuskan.Kemerdekaan pers secara utuh itu tak lepas dari peran Abdurrahman
Wahid yang pada masa pemerintahannya menghapuskan peraturan-peraturan
diskriminatif.Maka, pada saat yang sama, struktur pers nasional juga berubah drastis,dari
yang hanya media cetak , mulailah muncul bentuk media televisi, radio, serta internet. Saat itulah, pers pada era
reformasi mulai berfungsi menjadi lembaga kontrol sosial.
III.
Menyikapi Kebebasan Pers di Indonesia Saat Ini
Menilik kembali sejarah pers
nasional sebelumnya, yang seakan tidak memiliki kemampuan dan tak berdaya untuk
melepaskan diri dari pengaruh serta campurtangan pemerintah yang kuat, kini
pers mendadak menggeliat dan bangkit dari ketidakberdayaannya. Pers mendapatkan
angin yang segar. Angin kebebasan, angin kemerdekaan pers.
Berbicara tentang kebebasan
memang tidak bisa dilepaskan dari anggapan liberal.Kebebasan pers sering
disalahartikan seolah-olah demi kebebasan persitu semata-mata.Pers era reformasi menjadi ruang
publik milik masyarakat untuk menjadi pengawas pada percaturan politik saat
ini. Namun sayangnya, media pers sekarang dimiliki oleh pemodalnya untuk
kepentingan pribadi .Padahal kebebasan berkekspresi merupakan salah satu agenda
penting reformasi. Setelah reformasi berjalan kurang lebih 15tahun, justru pers hanya menjadi alat bagi
kepentingan pemodal, hingga sebagian masyarakat mengangggap pers yang ada
sekarang ini sudah liberal, mengingat lebih dari 30 tahun lebih pemerintah orde
baru , kebebasan pers dikebiri.
Sesungguhnya kebebasan pers
terutama sekali adalah demi kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi
serta untuk mengungkapkan pikiran dan menyatakan pendapatnya.Saat ini, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menurut berbagai kalangan dikatakan sebagai
undang-undang yang ‘terlalu liberal’.Dalam UU No.40/1999 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban, dan perannya, pers menghormati hak asasi setiap
orang.Jelas sekali dalam fungsinya tentunya pers harus mampu bersikap fleksibel
dan bergerak dinamis.Mengkaji kembali mengapa masyarakat kemudian menganggap
pers saat ini dianggap “kelewatan”.
Jika
menilik kembali kasus penetapan pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama
Suryodiningrat sebagai tersangka atas
kasus pemuatan kartun yang mencantumkan karikatur dengan kalimat bertuliskan
Arab La Illaha Ilallah pada sebuah
gambar tengkorak khas bajak laut pada bulan Juli laluyang merupakan pelanggaran
UU No.40/1999. Karikatur itupundianggap merupakan tindak pidana penistaan
agama.
Dari
kasus tersebut muncul opini bahwa pers dianggap terlalu liberal hingga
menistakan salah satu agama.Padahal seperti yang sudah diketahui, bahwa pers Indonesia
memiliki kode etik yang wajib dipegang oleh para pekerja persitu sendiri.Artinya,
pers di Indonesia masih dikatakan ideal dan belum liberal jika pekerja pers memegang
kendali untuk tetap memberi informasi sesuai dasar undang-undang yang berlaku.Sehingga
apabila melakukan pelanggaran dalam kode etik yang berlaku maka akan dikenakan
hukuman sesuai sanksi yang ada.
Berangkat
dari kasus karikatur majalah The Jakarta Post maka tidak ada salahnya apabila
kemudian dikaitkan pada kasus penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di
Prancis hingga menewaskan pemimpin redaksinya atas kasus kartun
sarkastik yang vulgar, berita, polemik dan “jokes-jokes” ala Charlie Hebdo.
Penyerangan brutal itu tentu bisa menjadi rujukan kembali pada kebebasan pers
di Indonesia bahwa; Indonesia sangat menjunjung tinggi terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kebebasan pers. Kebebasan pers di Indonesia dilaksanakan dengan
berpegang erat pada fungsi kebebasan pers sendiri yakni tidak hanya menjalankan
fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, tetapi dituntut pula untuk menghormati
hak asasi setiap orang.
Oleh karena itu, pers di Indonesia dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka terhadap kontrol masyarakat.Dewan Pers telah menegaskan bahwa kontrol masyarakat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan “Hak Jawab dan Hak Koreksi” guna menghindari media pers yang menyimpang dan menciderai arti kebebasan pers yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, pers di Indonesia dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka terhadap kontrol masyarakat.Dewan Pers telah menegaskan bahwa kontrol masyarakat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan “Hak Jawab dan Hak Koreksi” guna menghindari media pers yang menyimpang dan menciderai arti kebebasan pers yang sesungguhnya.
Kebebasan
pers adalah adalah hak milik publik yang harus diperoleh sebagai konskuensi
dari hak memperoleh informasi (right to
know) dan hak menyampaikan pendapat (right
to express). Konsep kebebasan pers beda dari pers bebas. Kebebasan pers
adalah norma kultural yang jadi acuan nilai bersama (share values) di ruang publik, sedangkan pers bebas adalah kondisi
yang melandasi keberadaan institusi pers yang menjamin otonomi pers menjalankan
fungsi sosialnya. Kebebasan pers adalah istilah yang menunjuk jaminan atas
hak-hak warga memperoleh informasi sebagai dasar guna mebentuk sikap dan
pendapat dalam konteks sosial dan estetis yang untuk itu diperlukan media massa
sebagai institusi kemasyarakatan. Secara politikkebebasan pers berarti hak
warga untuk mengetahui berbagai masalah publik dan mendeseminasikannya secara
terbuka. [4]
Maka idealnya, pers dianggap
sesuai apabila tidak menyinggung SARA dan mematuhi
kode etik yang berlaku.Karena hakikatnya pers adalah penyambung
lidah rakyat pada pemerintah.Datangnya era reformasi, persharus mulai membangun
kesadaran untuk kembali menemukan jatidirinya.Pers ada sebagai penyebar
informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial
yang konstruktif.Pers
dituntut professional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat sebab
perannya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan media kontrolsosial.
IV.
KESIMPULAN
Kebebasan pers dengan
pers yang bebas adalah dua kata yang hampir sama namun berbeda makna. Kebebasan
pers adalah hak seseorang untuk memperoleh informasi dan mengemukakan pendapat.Sedangkan
pers bebas adalah kondisi
yang melandasi keberadaan institusi pers yang menjamin otonomi pers menjalankan
fungsinya.Dalam kinerjanya, kebebasan pers mengalami banyak tekanan oleh
pemerintah dari masa ke masa, hingga pada era reformasi ini, pers benar-benar
mendapatkan hak kemerdekannya secara utuh dengan tidak lepas dari undang-undang
yang berlaku yakni UU No.40/1999.Maka agar pers tidak dianggap liberal,
idealnya pers harus bekerja secara professional dengan mematuhi UU yang
berlaku. Karena kemerdekaan pers yang didapat saat ini adalah buah perjuangan
dari masa-masa pemerintahan yang pelik sebelumnya, di mana kebebasan pers begitu dikebirikan,
terlebih pada rezim Orde Baru, di mana konteks
kebebasan pers yang terjadi di masa-masa itu adalah kondisi pers yang berada
dalam posisi sulit dan rumit. Pers mengalami kesulitan untuk menemukan jalan
keluarlain selain menempatkan dirinya untuk patuh terhadap semua kebijakan
pemerintah, meskipunapapun langkah pemerintah itu dipandang tidak sesuai. Mau
tidak mau, pers harus mau berjalan di belakangnya, bekerjasama dengan segala
langkah dan kebijakan pemerintah.Bila pers tidak mau bekerjasama, maka dapat
dipastikan media pers itu harus rela eksistensinya mati ditelan revolusi.
V.
Daftar Pusaka
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII
Press, Yogyakarta, 2005
Salvatore Simarmata, Media dan Politik, Pustaka Obor,
Jakarta, 2014